Minggu, 09 April 2023

Ihya Al-Mawat

Makalah Ihya Al-Mawat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ihya’ al-mawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan sebagainya.
Islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar di berbagai pelosok dunia, menghidupkan (membuka) tanah-tanah tandus. Hal itu dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan dengan mengelola tanah tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian ihya’ al-mawat?
2.      Apa dasar hukum ihya’ al-mawat?
3.      Bagaimana cara-cara ihya’ al-mawat?
4.      Apa-apa saja objek yang berkaitan dengan ihya’ al-mawat?
5.      Bagaimana hukum-hukum dalam ihya’ al-mawat?
6.      Bagaimana syarat-syarat ihya’ al-mawat?
7.      Bagaimana izin penguasa dalam ihya’ al-mawat?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Ihya al-mawat adalah dua lafadz yang menunjukkan satu istilah dalam Fiqh yang mempunyai maksud tersendiri. Bila diterjemahkan secara literer ihya berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat. Pengertian al-mawat menurut al-Rafi’i ialah:[1]
لارض التى لامالك لها ولا ينتفع بها احد
Artinya: “Tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorang pun.”

Menurut Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Iqna’ al-Khatib, yang dimaksudkan dengan al-mawat menurut istilah adalah:
هو الذى لم يكن عامرا ولا حريمالعامر قرب من العامر اوبعد
Artinya: “Tidak ada yang menanami, tidak ada halangan karena yang menanami, baik dekat dari yang menanami maupun jauh.”

Menurut Syaikh Syibab al-Din Qalyubi wa Umairah dalam kitabnya Qalyubi wa Umairah bahwa yang dimaksudkan dengan Ihya al-mawat adalah:
عمارة الارض التى لم تعمر
Artinya: “Menyuburkan tanah yang tidak subur.”
B.     Dasar Hukum
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain.


Hadits yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat adalah
عن عائشة رضي الله عنها, ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة : قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)                                      
Artinya :  Dari Aisyah r.a : Nabi SAW. pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R Bukhari)
عن جابر رضى الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى)
Artinya:   Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
Hadits di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar tanah tersebut. Hadits ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya.
Dalam hadits tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah SWT. dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia[2].
Dalam hal ini tidak ada bedanya seorang Muslim dengan kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam) karena hadits-hadits tersebut bersifat mutlak. Lagi pula, harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi menjadi miliknya dan tidak bisa dicabut darinya. Ketentuan ini berlaku umum. Hanya saja, kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan cara digarap/dimanfaatkan. Abu Yusuf dalam al-Kharaj menuturkan riwayat dari Said bin al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah berkata:
و ليس لمحتجر حق بعد ثلاث سنين
Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”
C.    Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat adalah sebagai berikut[3]:
1.      Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
2.      Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
3.      Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
4.      Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.
D.    Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam. "Nothing is lawful to any person but what is permitted by the Imam.”[13] Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul SAW. agar memberikannya[4].
Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya.
E.     Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:[5]
            1.      Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
            2.      Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh[6].
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah:
1.      Pemilikan lahan itu.
Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.

2.      Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
3.      Seorang telah menggarap sebidang lahan
Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh.
F.     Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup tiga hal, yaitu : orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
1.      Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.
2.      Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,  bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
3.      Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan   
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta  yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
G.    Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.[7]
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau  membangunnya untuk kepentingannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan. Dasar hukum ihya’ al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Cara-cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar, dan menggali parit.  Obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.  Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup: orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan. Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hafidz. 1992. Kunci Fiqih Syafi’i. Semarang: CV. Asy Syifa.
An-Nabhani, Taqyuddin. 2009. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar Press,.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2014. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun, 2007. Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama: Jakarta,.
Suhendi, Hendi. 2016. Fiqih Muamalah. Jakarta, Rajawali Pers
 



[1] Suhendi, Hendi. 2016. Fiqih Muamalah.. (Jakarta, Rajawali Pers) h. 265-266.
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007), h. 47.
[3] Suhendi, Hendi. 2016. Fiqih Muamalah.. (Jakarta, Rajawali Pers) h. 268-269.
[4] An-Nabhani, Taqyuddin. Sistem Ekonomi Islam. (Bogor: Al-Azhar Press, 2009.), h. 147
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqh Muamalat. (Jakarta: Amzah, 2014), h. 351-352
[6] Abdullah, Hafidz. Kunci Fiqih Syafi’i. Semarang: CV. Asy Syifa, 1992. 189-190
[7] Abdul Rahman Ghazaly, dkk. Fiqh Muamalat. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 295

Rabu, 01 Maret 2023

TP ATP dan Modul Ajar (RPP) Al-Quran Hadis, Fikih, SKI dan Akidah Akhlak MI MTs MA

 



TP ATP dan Modul Ajar (RPP) Al-Quran Hadis, Fikih, SKI dan Akidah Akhlak  MI MTs MA

TP ATP dan Modul Ajar atau RPP Al-Quran Hadis, Fikih, SKI dan Akidah Akhlak MI MTs MA dibuat sebagai referensi bagi guru yang berada di madrasah pelakasana Kurikulum Merdeka dalam merangcang kegiatan belajar mengajar.
Selain Modul ajar atau RPP, berikut ini juga akan membagikan tujuan Pembelajaran (TP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) Al-Quran Hadis jenjang MI MTs MA Kurikulum Merdeka.

Al-Quran Hadis sebagai salah satu mata pelajaran rumpun PAI yang diajarkan dimadrasah, dalam implementasi kurikum merdeka mengacu pada regulasi yang diterbitkan oleh Kementerian Agama melalui Direktorat KSKK Madrasah.

Sehingga acuan dalam penyusunan TP dan ATP, serta Modul ajar atau RPP Kurikulum Merdeka juga harus sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Namun, madrasah di jenjang MI MTs MA dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan dari madrasah itu sendiri.
Saat ini, Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) masih bersifat (opsional). Artinya, sekolah dapat memilih untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka atau tidak. Hal tersebut sangat bergantung pada kesiapan madrasah masing-masing.
Kesiapan madrasah dalam mengimplementasikan kurikulum merdeka ditentukan dari kesiapan guru serta sarana prasarana yang ada. Sehingga, madrasah perlu mempertimbangkan banyak hal terkait IKM ini.
Al-Quran hadis,Fikih, SKI dan Akidah Akhlak menjadi salah satu mata pelajaran rumpun PAI yang masuk dalam kategori kurikulum nasional yang wajib di ajarkan di madrasah.
TP, ATP, dan Modul Ajar (RPP) Al-Quran Hadis, Fikih, SKI dan Akidah Akhlak menjadi istilah baru dalam kurikulum merdeka yang dulunya biasa disebut sebagai Kompetensi Dasar (TP), Silabus (ATP), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP (Modul Ajar).

Oleh karena itu, guru tidak perlu bingung terkait istilah-istilah tersebut karena hal tersebut hanya terkait tentang istilah yang berbeda saja. Namun secara garis besar tetap sama secara fungsi dan tujuannya yakni sebagai rancangan proses kegiatan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Untuk Bapak/Ibu guru Al-Quran Hadis pada jenjang MI MTs dan MA yang bernaung di madrasah pelaksana kurikulum merdeka, silahkan unduh TP ATP dan Modul Ajar (RPP) Al-Quran Hadis MI MTs MA Download di bawah ini:


TP ATP dan Modul Ajar (RPP) Al-Quran Hadis, Fikih, SKI dan Akidah AkhlakMI MTs MA ini hanya contoh yang dapat dikembangkan oleh guru sesuai kondisi dan situasi di madrasah. Sehinga TP ATP dan Modul Ajar (RPP) Al-Quran Hadis tidak bersifat pakem dan tidak bisa dirubah.

Senin, 31 Oktober 2022

Laporan Penelitian Tindakan Kelas Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah

                    Contoh Lengkap Laporan Penelitian Tindakan Kelas
                                 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Berikut contoh Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD/MI Kelas 1, 2, 3, 4, 5, 6 beserta Laporannya secara lengkap. Judul PTK harus memenuhi kriteria kriteria penulisan Judul PTK, diantaranya sebagai berikut:
a) menjawab minimal 3 (tiga) pertanyaan, yaitu: apa yang akan ditingkatkan? Siapa yang akan ditingkatkan? Bagaimana cara meningktkan?,
b) Jumlah kata maksimal 20 kata. Contoh penulisan judul PTK berikut telah memenuhi kriteria tersebut. Selain judul juda dilengkapi contoh cara membuat Laporan sebanyak 3 (tiga) laporan. 
Semoga bisa dijadikan referensi bapak ibu Guru SD/MI yang akan menulis PTK, semoga bermanfaat. Adapun Laporan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD Kelas 1, 2, 3, 4, 5, 6 adalah sebagai berikut:

1. Laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD Kelas 1, silahkan UNDUH DISINI!

2. Laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD Kelas 2, silahkan UNDUH DISINI!

3. Laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD Kelas 3, silahkan UNDUH DISINI!

4. Laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD Kelas 4, silahkan UNDUH DISINI!

5. Laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD Kelas 5, silahkan UNDUH DISINI!

6. Laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) SD Kelas 6, silahkan UNDUH DISINI!

Semoga Bermanfaat.

Sabtu, 17 September 2022

WORLD CLEANUP DAY MINUHA


 Peringatan World Clean Up Day MI NU 49 Harjodowo 17 September 2022

   Clean Up Day atau Hari bersih-bersih sedunia adalah aksi sosial global tahunan yang mengajak masyarakat di seluruh dunia untuk turut membersihkan dan menjaga kebersihan bumi yang bertujuan untuk mengurangi masalah limbah padat dan sampah laut. Aksi ini merupakan acara global terbesar di bawah organisasi independen Let’s Do It World (LDIW). Melibatkan lebih dari 150 negara, setiap negara yang terdaftar akan memiliki koordinator yang bertugas untuk menghimpun, mengajak masyarakat, dan mengatur berjalannya acara di negaranya untuk memetakan tantangan dan penyelesaian masalah limbah yang kurang dikelola secara tepat.

   Hari Bersih-bersih Sedunia dilaksanakan setiap tahun pada Sabtu pekan ketiga bulan September. Aksi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan kebersihan bumi dari limbah yang tidak dikelola dengan baik, serta mengajak dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik pemerintah, organisasi, hingga individu untuk turut berkontribusi dalam permasalahan limbah. Pada bulan September tahun 2022 ini hari bersih-bersih sedunia jatuh pada tanggal 17 September 2022.

   Menindaklanjuti himbauan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kendal tanggal 16 September 2022 tentang Kegiatan World Clean Up Day, Kepala MI NU 49 Harjodowo  memerintahkan Guru dan Staf Tenaga Administrasi Sekolah yang terjadwal piket pda hari itu untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Dimulai dengan apel pagi bapak Khaerul Anam,S.pd meyampaikan “ Kebersihan adalah sebagian dari iman, bahkan hampir semua ibadah yang dilakukan salah satu syaratnya ialah bersih dari najis dan hadas”. Kebersihan dipusatkan di lingkungan halaman madrasah yang  merupakan salah satu area yang butuh perhatian khusus. Banyaknya rumput liar yang mulai tumbuh membutuhkan waktu dan tenaga yang tak sedikit untuk membersihkannya, dengan adanya kegiatan bersih-bersih ini maka pekerjaan berat terasa ringan. Halaman pun mulai tampak bersih dan terawat, berbagai tanaman mulai dari tanaman obat, tanaman keras, tanaman hias hingga buah-buahan tumbuh dengan suburnya, semoga kedepannya gelar madrasah Adiwiyata layak disematkan di MINUHA.

Minggu, 04 September 2022

Alasan Kenapa Jadi Guru

9 Alasan Kenapa Jadi Guru?

Apa saja keuntungan yang diperoleh dengan menjadi guru? berikut kami sampaikan 9 Manfaat dan Keuntungan Menjadi Guru ya

1. semangat dan semangat belajar 

Saat mengajarkan sesuatu, kamu akan turut serta belajar. Tidak mungkin, 'kan, mengajari orang lain tentang sesuatu tanpa menguasai bidang tersebut? 

Apalagi kalau menghadapi pertanyaan-pertanyaan. Dengan mengajar, semangat untuk terus belajar dalam diri akan semakin bertambah. Bonusnya?

Otak juga mampu keterampilan karena diasah dan pengetahuanmu terus-menerus semakin luas tentunya.

2. Pekerjaan tidak monoton

Kata siapa jadi guru itu pekerjaan yang monoton dan membosankan? Dibanding pegawai kantoran, guru justru memiliki pekerjaan yang lebih beragam serta dinamis. 

Tiap hari kamu akan terlibat dengan berbagai macam aktivitas, karakter siswa yang unik, topik-topik yang berbeda, dan tantangan baru.

3. Punya peran penting bagi masa depan

"Hari ini kamu memimpin sekolah, besok muridmu akan memimpin dunia."

Menjadi guru, maka menjadi sosok yang digugu dan ditiru, juga jadi panutan. Guru adalah orangtua siswa di sekolah. 

Selain ilmu, siswa juga akan mencontoh perilaku gurunya. Kamu memiliki peran penting dalam membentuk perilaku siswa untuk berkarya. 

Tanpa disadari, sekecil apapun hal yang kamu bagikan, bisa sangat besar dan menggiring pada kesuksesan.

4. Jam kerja fleksibel

Kehidupan pekerjaan seyogianya bisa seimbang dengan kehidupan keluarga. Pekerja kantoran biasanya sulit punya waktu luang di hari kerja. 

Nah, guru memiliki jam kerja yang lebih singkat lho. Kalau guru sekolah, menyesuaikan dengan jam sekolah. Apalagi kalau guru privat, kamu bisa tentukan sendiri jamnya.

5. Libur lebih panjang

Selain itu, guru juga punya waktu libur lebih lama dibanding karyawan kantoran, mengikuti jadwal murid.

Seperti libur semester dan kenaikan kelas, guru mempersiapkan materi dan kurikulum semester atau tahun ajaran baru.

Di luar itu, guru masih bisa mengatur waktu untuk berlibur dan tenangkan pikiran.

6. Panjang sabar

"Seorang guru menggandeng tangan, membuka pikiran, dan menyentuh hati."

Menghadapi berbagai macam karakter setiap hari akan membuat kamu menjadi pribadi yang lebih sabar.

Dengan sabar, kamu jadi lebih 'kebal' terhadap stres lho.

7. Hiburan

Tingkah dan kutipan siswa (khususnya TK dan SD) yang masih polos-polos akan memancing gelak tawa.

Siswa juga tidak akan mengungkapkan isi hati mereka yang biasanya dapat membuat hati terenyuh.

Mereka tidak akan malu menunjukkan rasa sayang kepada guru.

8. Jadi bos

Saat pintu kelas ditutup dan pelajaran dimulai, kamu adalah bos di ruangan tersebut.

Guru akan memutuskan apa yang hendak terjadi hari itu, topik yang akan diangkat, siapa yang mengerjakan soal, hingga ujian dadakan.

Tidak banyak lho pekerjaan yang memungkinkanmu untuk bisa memberikan kebebasan demikian.

9. Menyalurkan kecintaan pada anak

Kamu suka dengan anak-anak? Menjadi guru, kamu bisa menyalurkan kecintaanmu dengan mendampingi, mengajarkan nilai akademis-non akademis, dan moral pada mereka.

Dengan begitu, akan lebih santai menjalani pekerjaan karena kamu suka apa yang ada di dalamnya.

Menjadi guru  itu merupakan sebuah dedikasi. Apabila pendidikan di Indonesia ingin maju dan berhasil, guru sebagai ujung tombaknya harus lebih profesional. Baik dalam keahlian, pendampingan, dan menjalani kehidupan.

Rabu, 16 Februari 2022

Dilamar malah memilih sahabat Pelamar

 

MENGHARUKAN...!!! 

Perempuan dilamar malah memilih sahabat yang mengantar Pelamar

Bagaimana Tanggapan Si Pelamar???


Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi Muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.

Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salihah dari kalangan Anshar. Namun, ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.

Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu-menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.

Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang.

“Subhanallah wa alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya.

Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setiba di rumah wanita salihah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.

“Saya adalah Abu Darda’ dan ini adalah saudara say,a Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga)-nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.

“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri Anda,” katanya melanjutkan kepada wali si wanita menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan sahabat,” ujar ayah si wanita.

Namun, sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang sahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri.

“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman al-Farisi.

Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada di balik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putri, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” katanya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.

“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun, Salman tegar.

Tak sampai di situ, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya. “Namun, karena kalian berdualah yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama, seperti Salman,” kata ibu si wanita salihah idaman Salman yang diinginkannya untuk menjadi istrin. Namun, justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.

Jika seperti pria pada umumnya maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun, Salman merupakan pria saleh, seorang mulia dari kalangan sahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.

Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga akan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.

Demikian kisah cinta sahabat Rasulullah yang mulia, Salman al-Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Semoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.


Sumber : https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/pmygw0313